Mengumpulkan Bahan Berita

Untuk menghimpun bahan yang akan digunakan menulis berita, wartawan melakukan kerja jurnalistik berupa pengamatan atau observasi, melakukan wawancara terhadap narasumber berita. Sering juga jurnalis menghadiri konferensi pers. Bahan berita bisa berasal dari siaran pers atau press release. Tidak kalah pentingnya, pewarta harus melakukan penggalian data dari sumber-sumber dokumen, atau melakukan studi dokumen. Mari kita bahas satu per satu:

A. Observasi

Secara sederhana observasi merupakan pengamatan terhadap realitas sosial. Ada pengamatan langsung, ada juga pengamatan tak langsung. Seseorang disebut melakukan pengamatan langsung bila ia menyaksikan sebuah peristiwa dengan mata kepalanya sendiri.

Pengamatan ini bisa dilakukan dalam waktu yang pendek dan panjang.  Pendek artinya, setelah melihat sebuah peristiwa dan pencatat seperlunya, seseorang meninggalkan tempat kejadian untu menulis laporan.  Misalnya: peristiwa kecelakaan lalu lintas.

Sedangkan panjang berarti seseorang berada di tempat kejadian dalam waktu yang lama. Bahkan ia menulis laporan dari tempat kejadian. Contoh: peristiwa bencana alam.

Seseorang disebut melakukan pengamatan tidak langsung bila ia tidak menyaksikan peristiwa yang terjadi, melainkan mendapat keterangan dari orang lain yang menyaksikan peristiwa itu.

Misalnya: peristiwa penemuan mayat suami-istri di sebuah rumah. Si Bujang mendapat informasi bahwa di jalan Melati No. 24 ditemukan mayat sepasang suami-istri. Ia bergegas ke daerah itu. Sesampai di sana, ia masih melihat sepasang mayat tersebut. Kalau ia kemudian mendapatkan data tentang siapa yang meninggal dunia, kapan dan sebab meninggal dunia, data itu merupakan hasil pengamatan tidak langsung.

Selain kategori di atas (observasi langsung, observasi tidak langsung), adapula observasi terlibat dan observasi tidak terlibat.

Apa beda pengamatan penelitian (akademis) dgn pengamatan wartawan?

B. Wawancara

Wawancara yang Baik: Agar tugas wawancara kita dapat berhasil, maka hendaknya diperhatikan hal-hal – antara lain – sebagai berikut:

  1. Lakukanlah persiapan sebelum melakukan wawancara.  Persiapan tersebut menyangkut alat (alat tulis, rekam dll) dan bahan/materi outline wawancara, penguasaan materi wawancara. Juga penting mengenal sifat/karakter/kebiasaan orang yang hendak kita wawancarai, dan sebagainya.
  2.   Taatilah peraturan dan norma-norma yang berlaku di tempat pelaksanaan wawancara tersebut. Sopan santun, jenis pakaian yang dikenakan, pengenalan terhadap norma/etika setempat, adalah hal-hal yang juga perlu diperhatikan agar kita dapat beradaptasi dengan lingkungan tempat pelaksanaan wawancara.
  3. Jangan mendebat narasumber. Tugas seorang pewawancara adalah mencari informasi sebanyak-banyaknya dari nara sumber, bukan berdiskusi. Jika Anda tidak setuju dengan pendapatnya, biarkan saja. Jangan didebat. Kalaupun harus didebat, sampaikan dengan nada bertanya, alias jangan terkesan membantah.

Contoh yang baik: “Tetapi apakah hal seperti itu tidak berbahaya bagi pertumbuhan iklim demokrasi itu sendiri, Pak?”

Contoh yang lebih baik lagi: “Tetapi menurut Tuan X, hal seperti itu kan berbahaya bagi pertumbuhan iklim demokrasi itu sendiri. Bagaimana pendapat Bapak?”

Contoh yang tidak baik: “Tetapi hal itu kan dapat berbahaya bagi pertumbuhan iklim demokrasi itu sendiri, Pak.” (apa bedanya dengan contoh pertama di atas?).

  1. Hindari menanyakan sesuatu yang bersifat umum, dan biasakanlah menanyakan hal-hal yang khusus. Hal ini akan sangat membantu untuk memfokuskan jawaban nara sumber.
  2. Ungkapkanlah pertanyaan dengan kalimat yang sesingkat mungkin dan to the point. Selain untuk menghemat waktu, hal ini juga bertujuan agar nara sumber tidak kebingungan mencerna ucapan si pewawancara.
  3. Hindari pengajuan dua pertanyaan (atau lebih) dalam satu kali bertanya. Hal ini dapat merugikan kita sendiri, karena nara sumber biasanya cenderung untuk menjawab hanya pertanyaan terakhir yang didengarnya.
  4. Pewawancara hendaknya pintar menyesuaikan diri terhadap berbagai karakter narasumber. Untuk nara sumber yang pendiam, pewawancara hendaknya dapat melontarkan ungkapan-ungkapan pemancing yang membuat si nara sumber “buka mulut”. Sedangkan untuk nara sumber yang doyan ngomong, pewawancara hendaknya bisa mengarahkan pembicaraan agar narasumber hanya bicara mengenai hal-hal yang berhubungan dengan materi wawancara.
  5. Pewawancara juga hendaknya bisa menjalin hubungan personal dengan nara sumber, dengan cara memanfaatkan waktu luang yang tersedia sebelum dan sesudah wawancara. Kedua belah pihak dapat ngobrol mengenai hal-hal yang bersifat pribadi, atau hal- hal lain yang berguna untuk mengakrabkan diri. Ini akan sangat membantu proses wawancara itu sendiri, dan juga untuk hubungan baik dengan narasumber di waktu-waktu yang akan datang.
  6. Tips: Jika kita mewawancarai seorang tokoh yang memiliki lawan ataupun musuh tertentu, bersikaplah seolah-olah kita memihaknya, walaupun sebenarnya tidak demikian. Seperti kata pepatah, “Jangan bicara tentang kucing di depan seorang pecinta anjing”.
  7. Bagi seorang reporter pemula, kendala terbesar dalam proses wawancara biasanya bukan wawancaranya itu sendiri, melainkan proses untuk menemui narasumber. Agar kita dapat menemui nara sumber tertentu dengan sukses, diperlukan perjuangan dan kiat-kiat yang kreatif dan tanpa menyerah.  Salah satu caranya adalah rajin bertanya kepada orang-orang yang dekat engan narasumber. Koreklah informasi sebanyak mungkin mengenai nara sumber tersebut, misalnya nomor teleponnya, alamat villanya, jam berapa saja dia ada di rumah dan di kantor, di mana dia bermain golf, dan sebagainya.

Wawancara adalah tanya jawab antara seorang wartawan dengan narasumber untuk mendapatkan data tentang sebuah fenomena (Itule dan Anderson 1987:184). Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan adalah:

Posisi narasumber dalam wawancara

Posisi narasumber dalam sebuah wawancara adalah ibarat posisi pembeli dalam sebuah transaksi dagang, yaitu sebagai raja.  Semua keinginan narasumber harus dipenuhi oleh wartawan. Karena itu, sebelum melakukan wawancara, wartawan harus menanyakan keinginan narasumber. Sebelum itu, wartawan harus memperkenalkan secara langsung jati dirinya dan untuk siapa ia bekerja kepada narasumber (ada dalam kode etik).

Tahap-tahap ini, menurut prinsip etika jurnalistik yang umum, harus ditempuh oleh setiap wartawan sebelum melakukan wawancara dengan narasumber, terlepas dari narasumber mengetahui cara kerja jurnalisme atau tidak.

Terdapat beberapa hal mendasar yang perlu ditanyakan kepada narasumber, misalnya:

  • Apakah narasumber tidak keberatan bila kalimatnya dikutip secara langsung?
  • Apakah narasumber tidak berkeberatan namanya disebut dalam hasil wawancara?
  • Jika narasumber berkeberatan namanya disebutkan, apakah ia tidak bekeberatan namanya disebut pada bagian tertentu hasil wawancara?
  • Apakah narasumber memiliki keinginan lain yang berkaitan dengan hasil wawancara?

Bila wartawan sudah mengetahui jawaban ketiga pertanyaan ini ditambah dengan keinginan narasumber lain, maka terpulang kepada wartawan bersangkutan untuk segera memenuhinya atau bernegosiasi terlebih dahulu.

Bernegosiasi dengan narasumber bukanlah haram. Wartawan boleh bernegosiasi asal tidak berlangsung di bawah tekanan pihak tertentu (wartawan yang handal sering melakukan negosiasi dengan narasumber). Kesepakatan yang dicapai berdasarkan negosiasi, biasanya, lebih memuaskan kedua belah pihak.

Terlepas dari cara pencapaian kesepakatan, kesepakatan ini perlu dicapai sebelum melakukan wawancara (tidak ada salahnya wartawan juga merekam kesepakatan yang sudah dicapai. Rekaman ini bisa dijadikan bukti bila kelak ada pihak yang protes terhadap keberadaan wawancara tersebut). Berdasarkan kesepakatan inilah seharusnya wawancara berlangsung.

Setelah wawancara selesai, wartawan perlu menanyakan kembali kepada narasumber, apakah narasumber masih setuju dengan kesepakatan yang sudah dibuat? Wartawan juga perlu meyakinkan narasumber bahwa tidak akan terjadi penyesalan di kemudian hari atas segala akibat kesepakatan yang sudah dibuat.

Dalam pandangan sebagian wartawan, pelaksanaan tahap-tahap wawancara tersebut di atas menghambat kelancaran kerja mereka. Karena itu, mereka enggan melakukannya. Tetapi, bagi mereka yang pernah “ketanggor”, pelaksanaan tahap-tahap itu menjadi satu keharusan.

Posisi wartawan dalam wawancara

Sebagian individu akan senang diwawancarai wartawan. Individu-individu model begini akan selalu bersikap manis kepada wartawan.  Tidak heran bila wartawan berada “di atas angin” ketika berhadapan dengan mereka.

Lalu, dimana posisi wartawan yang sebenarnya? Kedudukan wartawan adalah penjaga kepentingan umum. Para wartawan berhak mengorek informasi yang berkaitan dengan kepentingan umum dari narasumber.

Mereka bebas menanyakan apa saja kepada narasumber untuk menjaga kepentingan umum. Posisi inilah yang menyebabkan wartawan/media mendapat tempat di hati khalayak. Kendati begitu, para wartawan, seperti dinyatakan oleh Jeffrey Olen, harus menghormati keberadaan narasumber.

Wartawan harus mengakui bahwa narasumber adalah individu yang bisa berpikir, memiliki alasan untuk berbuat dan mempunyai keinginan-keinginan (Olen 1988:59).

Akibatnya, para wartawan harus memperlakukan narasumber sebagai individu yang memiliki otonomi dan bebas mengekspresikan segala keinginannya. Kalau pada satu saat narasumber keberatan hasil wawancaraya disiarkan, maka wartawan harus menghormati keinginan ini dan tidak menyiarkannya.

Ada 7 (tujuh) jenis wawancara yang layak kita perhatikan, yaitu:

  1. Man in the street interview,
  2. Casual interview ,
  3. Personal interview,
  4. News peg interview,
  5. Telephone interview,
  6. Question interview
  7. dan Group interview (Itule & Anderson 1987:halaman 207-213).

Operasionalisasinya begini:

Man in the street interview Wawancara yang dilakukan untuk mengumpulkan pendapat beberapa orang awam mengenai sebuah peristiwa, bisa menyangkut satu keadaan dan bisa pula tentang sebuah kebijaksanaan baru. Biasanya wawancara ini diperlukan setelah terjadinya sebuah peristiwa yang sangat penting.

Casual interviewSebuah wawancara mendadak. Dalam hal ini seorang wartawan minta kesediaan seorang narasumber untuk diwawancarai. Si wartawan berbuat begitu karena ia bertemu dengan narasumber yang dianggapnya punya informasi yang perlu dilaporkan kepada khalayak.

Personal interviewMerupakan wawancara untuk mengenal pribadi seseorang yang memiliki nilai berita lebih dalam lagi. Hasilnya, biasanya berupa profil tentang orang bersangkutan.

News peg interview Wawancara yang berkaitan dengan sebuah laporan tentang sebuah peristiwa yang sudah direncanakan. Wawancara ini sering juga disebut information interview.

Telephone interview:   Wawancara yang dilakukan lewat telepon. Ini biasanya dilakukan wartawan kepada narasumber yang sudah dikenalnya dengan baik dan untuk melengkapi sebuah berita yang sedang ditulis. Dengan perkataan lain, seorang wartawan memilih jenis wawancara memilih jenis wawancara ini karena ia dalam keadaan terdesak.

Question interviewWawancara tertulis. Biasanya dilakukan seorang wartawan yang sudah mengalami jalan buntu. Setelah ditelepon, didatangi ke rumah dan ke kantor, si wartawan tidak bisa bertemu dengan anrasumber, maka ia memilih wawancara jenis ini.  Keuntungan wawancara ini adalah: Informasi yang diperoleh lebih jelas dan mudah dimengerti. Kelemahannya adalah: wartawan tidak bisa mengamati sikap-sikap pribadi narasumber ketika manjawab pertanyaan-pertanyaan wartawan.

Group interview:   Wawancara yang dilakukan terhadap beberapa orang sekaligus untuk membahas satu persoalan atau implikasi satu kebijaksanaan pemerintah. Setiap orang memiliki kesempatan yang sama untuk berbicara.  Contoh pelaksanaannya seperti beberapa talk-show di televisi, misal acara ‘Jakarta Lawyer Club’ di TV.  Dalam penelitian akademis dikenal teknis penggalian data FGD (Focus Group Discussion).

Semua jenis wawancara tersebut di atas akan terlaksana dengan sempurna bila dipenuhi hal-hal teknis berikut:

  • Menggunakan daftar pertanyaan yang tersusun baik, yang sudah disiapkan lebih dulu;
  • Memulai wawancara dengan pertanyaan-pertanyaan yang ringan;
  • Mengajukan pertanyaan secara langsung dan tepat;
  • Tidak malu bertanya bila ada jawaban yang tidak dimengerti; dan
  • Mengajukan pertanyaan tambahan berdasarkan perkembangan wawancara.

Wawancara pada Media Elektronik

Wawancara untuk media cetak berbeda dengan wawancara untuk media elektronik. Wawancara untuk media elektronik biasanya dikemas semenarik mungkin (wartawan harus mendapat rekaman audio, atau video). Sebelum wawancara berlangsung, seringkali dilakukan “briefing” antara pewawancara dan nara sumber, yang bertujuan untuk menjaga kelancaran wawancara. Hal ini dilakukan karena (rekaman) wawancara untuk media elektronik merupa kan “produk” tersendiri yang “dijual” kepada pemirsa/pendengar.

Sedangkan dalam media cetak, yang terpenting bagi pembaca adalah tulisan yang dibuat berdasarkan hasil reportase, sehingga proses wawancara tidaklah penting bagi mereka. Karena itu, wawancara untuk media cetak dapat berlangsung tanpa kemasan yang menarik ataupun briefing antara wartawan dengan nara sumber. Satu-satunya persiapan yang perlu dilakukan adalah persiapan wartawan itu sendiri, yang mencakup bahan wawancara dan pengetahuan umum mengenai materi wawancara. Sedangkan proses wawancaranya dapat berlangsung dalam berbagai situasi dan tempat. Bisa di kantor, di restoran sambil makan siang, lewat telepon, sambil berjalan menuju halaman parkir, sambil ngobrol, dan sebagainya.

 

C. Konferensi Pers

Pernyataan yang disampaikan seseorang yang mewakili sebuah lembaga mengenai kegiatannya kepada para wartawan. Biasanya menyangkut citra lembaga, peristiwa yang sangat penting dan bersifat insidental, seperti yang dilakukan kepolisian saat ada kasus tertentu. Tetapi, tidak jarang bersifat periodik, seperti konferensi pers Kementrian Luar Negeri, yang berlangsung seminggu sekali.

Pada setiap konferensi pers, setiap wartawan memiliki hak yang sama untuk mengajukan pertanyaan kepada orang yang memberikan konferensi pers.

Umumnya, lalu lintas informasi dalam konferensi pers dilakukan lewat dialog langsung. Tetapi, ada juga konferensi pers yang menggunakan informasi tertulis yang dibagikan kepada para wartawan. Untuk melengkapi informasi tersebut, para wartawan diberi kesempatan untuk bertanya.

D. Press Release

Bisa diartikan sebagai siaran pers yang dikeluarkan oleh satu lembaga, satu organisasi atau seorang individu secara tertulis untuk para wartawan. Ia mewakili kepentingan lembaga, organisasi atau individu. Itulah sebabnya media massa cetak yang besar, seperti Kompas tidak mau memuat siaran pers seperti ini. Memang tidak ada keharusan bagi wartawan untuk memuat siaran pers ini.

Juga tidak ada kesempatan bagi para wartawan untuk bertanya kepada pihak yang mengeluarkan siaran pers tentang siaran pers.

Inilah yang membedakannya dengan konferensi pers. Tegasnya, pada press release tidak ada tanya jawab dengan wartawan dan narasumber. Sedangkan pada konferensi pers, ada.

E. Studi Dokumen

Mencari dan mempelajari dokumen sering juga perlu dilakukan wartawan. Misalnya pada berita terkait “pelanggaran sumpah jabatan” oleh oknum pejabat, wartawan hendaknya dapat menunjuk poin “sumpah jabatan” di dalam dokumen terkait, misalnya dokumen SK pelantikan. Contoh yang lain adalah pada berita terkait proyek pembangunan, maka penting untuk mencari dokumen2 proyek, seperti dokumen konsep proyek, surat-surat tender, surat perintah kerja dll…. Misalnya juga, dokumen-dokumen terkait berita sidang pengadilan, redaksi lengkap pasal-pasal UU yang digunakan pihak Kejaksaan, dll.

Daftar Bacaan:

  1. Bruce D Itule, Duglas A Anderson; News Reporting For Today’s Media; Random House; 1987
  2.  Jeffrey Olen; Ethics in Jurnalism; Prentice-Hall; 1988.

Leave a comment